jangan sia-siakan apa yang kamu dapatkan sekarang !!!

Thursday, December 08, 2005

Cintailah Kehidupan Lebih dari Apa pun

Cintailah kehidupan lebih dari apa pun. Itulah pesan ayah sebelum meninggal.
Dan, meski kehidupan kami berat, tak ada satu pun dari anak-anaknya yang
mengeluh. Ibu tetap bekerja, kami sekolah dan melalukan apa pun untuk
meringankan beban ibu. Kami menderita, tapi tawa juga tak pernah tanggal
dari bibir kami. Dan yang pasti, kami tak pernah jauh dari pesan ayah, untuk
selalu mencintai kehidupan.

Kenapa pesan ayah itu penting aku katakan, tak lain untuk menjelaskan betapa
"pentingnya" bagiku menjalani kehidupan yang sebentar lagi aku kisahkan.

Aku Nisya (31), singel parent, alias orang tua tunggal bagi anakku, Langit
(3). Aku bekerja di sebuah PMA, ekspor impor mebel. Tinggal masih bersama
orang tua, dan karena itu, Langit tak pernah sepi dari perhatian dan kasih
sayang aku dan neneknya. Kenapa aku menjadi singel parent? Inilah kisahku.

Setelah tiga tahun bekerja, empat tahun lalu aku menjalin asmara dengan
seorang lelaki Amerika, David (39). Ia matang, dan memang ingin menjalin
hubungan serius. Dan karena sudah sama-sama matang, kami pun segera
meletakkan hubungan itu dalam kerangka berumah tangga. Ia yang bekerja di
Jakarta, memilih ke Semarang untuk menjumpaiku, kadang seminggu sekali,
kadang dua minggu sekali. Ia pun sudah mengatakan kesanggupannya untuk
menikahiku di depan orang tua, dan memeluk agama seperti yang aku anut. Kami
berbahagia. Ia juga sangat menghormatiku, keluargaku, dan romantis.

Memang ada yang salah dalam hubunganku ini. Karena yakin, aku pun rileks
saja untuk berhubungan intim dengan David. Tanpa pengaman, karena jika pun
aku hamil, David akan segera menikahi. Ia pun memang sudah menginginkan
bayi. Karena itu, begitu aku hamil, pernikahan pun segera kami lakukan. Aku
menikah langsung, dan berencana 1,5 bulan kemudian akan memestakannya. Dan
karena keperluan itulah, David meminta izin untuk kembali ke Amerika,
menjemput orang tuanya. Aku mengizinkan, bahkan bahagia. Semula ia
mengajakku, tapi demi alasan kesehatanku dan pekerjaan, aku menolak.

Dan takdir bermula di sini.

David tiba di Amerika, kalau tidak salah di Virginia. Ia lalu menelpon,
mengatakan banyak hal, dan orang tuanya pun segear menelponku, mengucapkan
selamat atas pernikahan, dan kehamilanku. Mereka juga akan segera datang ke
Indonesia, dua minggu sebelum resepsi. Aku bahagia sekali. Senang. Menanti
masa itu luar biasa menakjubkan. Tapi, Tuhan punya rencana lain.

Tiga hari sebelum mereka kemari, ada telpon dari sana. David mengalami
kecelakaan. Ia dan ibunya tertabrak ketika pulang dari supermarket. Ibunya
patah tulang rusuk dan gegar otak, David meninggal, ketika dalam operasi.
Paru-parunya tertekan kemudi, dan gagal ketika dilakukan pemijatan langsung.
Aku lemas, lemas. Duniaku gelap. Aku mencoba tak percaya, tapi begitulah
kenyataannya. Ingin rasanya aku terbang ke sana, menangis di kuburannya,
tapi apa dayaku...

Keluarga kemudian rapat besar. Aku hanya punya pikiran satu, mempertahankan
janinku. Apa pun yang terjadi. Ketika sauadaraku menentang, aku katakan
pesan ayah itu, yang berulangkali dia ucapkan sebelum meninggal. Pesan yang
menandaskan, betapa pun beratnya hidup, jangan sampai kami memalinginya.
Hidup harus terus dijalankan. Menjalankan hidup itu sama dengan mengakui
adanya Tuhan.

Keluaga pun sepakat. Bahkan, meski resepsi telah aku batalkan, keluarga
David tetap datang, untuk mendampingku menghadapi cobaan itu. Mereka juga
membesarkan hatiku, dan sudah menganggapku sebagai menantu mereka. Kukira
ini basa-basi bule, tapi nyatanya tidak. Ketika aku akan melahirkan,
tiba-tiba ibu David dan adik perempuannya datang. Aku kaget sekali. Mereka
begitu antusias menyambut bayiku, dan aku menjadi punya teman. Kehadiran dua
bule ini pun membuatku sangat terbantu menghadapi kondisiku di mata
tetangga, yang beberapa mencibiriku.

Dan Langit lahir. Ia tampan, bule seperti ayahnya. Aku menangis, senang,
sedih, semua berbaur. Mertuaku bangga sekali. Ia seperti melihat kembali
anaknya dilahirkan. Ia bahkan memperpanjang tinggalnya, hanya untuk melihat
Langit, dan memastikan ikut memandikannya.

Setelah itu hidupku terus berjalan. Tetangga pun sudah menerima. Tapi, ada
satu yang berubah, asmara nyaris tak lagi berpihak padaku. beberapa kali
lelaki mencoba mendekatiku, namun semua berbalik arah, setelah tahu aku
punya anak, dan bule. Ada yang tak memasalahkan status jandaku, tapi ketika
melihat anakku, mundur. Mereka tak percaya aku menikah dan janda. Mereka
mengira karena Langit bule, pastilah aku dulunya bukan perempuan baik-baik.
Dan untuk soal ini, aku tak pernah mengiba. Aku tak butuh lelaki yang tak
bisa menerima masa laluku dan anakku. Aku yakin, suatu hari akan ketemu
lelaki baik-baik, dan menghormatiku. Dan jika tidak bertemu, juga tidak
apa-apa. Toh aku sudah memiliki lelaki tertampan dan sangat menyayaniku,
Langit.

Hubungaku dengan keluarga Dave masih baik, dan setiap tahun, mereka datang
ke sini, untuk melihat cucunya. Ibu dave bahkan masih selalu mengirimi uang
sebagai biaya hidup cucunya, yang sampai kini aku tabung. Mereka memagn
menginginkan kelak Langit bersekolah di sana, dengan dengan keluarga
ayahnya. Dan aku juga mendukung, jika nanti Langit memang menghendaki.

Kini aku hidup hanya untuk Langit. Dan kisahku ini sengaja aku ceritakan,
agar wanita-wanita yang mengalami kepedihan hidup, mau juga belajar seperti
aku, dan tidak melakukan perbuatan bodoh. Karena aku sangat percaya, kita
harus mencintai kehidupan lebih dari apa pun, dan jangan pernah merampas
seseorang untuk merasakan kehidupan, apalagi jika seseroang itu hadir karena
"kesalahan" kita.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home