jangan sia-siakan apa yang kamu dapatkan sekarang !!!

Tuesday, December 20, 2005

Kesedihan Juga Menawan

"Kebahagiaan yang dicari, kesedihan yang didapat", demikianlah keluhan
demikian banyak manusia. Entah itu di gunung atau di pantai, di desa atau di
kota, di rumah mewah atau rumah sederhana, berpendidikan tinggi atau
berpendidikan rendah, sebagian diisi oleh manusia dengan keluhan seperti
ini. Lebih-lebih di rumah Indonesia yang menyimpan demikian banyak pekerjaan
rumah dari kepemimpinan sampai dengan pengangguran. Sehingga dalam
kesederhanaan pemahaman dapat disimpulkan, dalam banyak komunitas manusia,
kesedihan serupa dengan musuh, penyakit, hantu bahkan setan yang menakutkan.
Tidak ada pilihan lain selain mengusirnya jauh-jauh.

Padahal, siapa saja yang pernah menyelam ke dalam lapisan-lapisan dalam
kehidupan -entah melalui pengetahuan, pengalaman apalagi meditasi- pasti
pernah melihat kalau kesedihan bukan lawan (apalagi musuh) kebahagiaan.
Kesedihan, di kedalaman renungan seperti ini, juga berfungsi tidak berbeda
dengan kebahagiaan. Bukankah kesedihan ada untuk merasakan kedalaman
kebahagiaan? Tidakkah ada yang melihat, kalau kebahagiaan kehilangan
kedalamannya ketika kesedihan ditolak? Adakah yang pernah merasakan
getaran-getaran rasa yang mendalam justru ketika kesedihan meluncur demikian
dalamnya?

Kalau sejarah digunakan sebagai sumur-sumur pemahaman, ia menyimpan banyak
sekali manusia mengagumkan justru karena pernah menyelam dalam di kedalaman
kesedihan. Mahatma Gandhi yang legendaris itu, yang mengusir penjajah secara
elegan melalui gerakan-gerakan antikekerasan, melalui masa-masa kesedihan
yang amat panjang. Dari masa mudanya yang keras di Afrika Selatan sampai
masa tuanya yang tertembak. Dalai Lama yang menyentuh itu, sebagian lebih
hidupnya di pengasingan. Kendati hari-harinya berisi kesedihan, kesedihan
dan kesedihan, ia tampak semakin kuat melalui senyumannya yang amat khas.
Nelson Mandela lain lagi. Dalam kurun puluhan tahun tokoh Afrika Selatan ini
dipenjara secara amat mengenaskan. Namun pengalaman yang demikian
mengenaskan ini juga yang membuat seorang Nelson Mandela demikian kuatnya.
Dan kemudian demikian dikagumi.

Di Indonesia kita mengenal Mohammad Hatta. Sebagian lebih hidupnya berisi
terlalu banyak kesedihan. Hidup miskin dan teramat sederhana. Mundur dari
singgasana kekuasaan. Kembali ke kehidupan orang biasa dengan menjadi dosen
perguruan tinggi setelah lama duduk di singgasana kekuasaan. Salah seorang
puterinya bahkan pernah bertutur, kalau gaji pensiunannya tidak cukup
digunakan bahkan untuk membayar listrik dan tagihan air minum saja. Namun,
bukankah deretan kesedihan ini juga yang membuat Hatta demikian bercahaya
hidupnya?

Dalam tataran bangsa, Jepang mulai bangkit kekuatannya beberapa tahun
setelah berenang di tengah samudera air mata berupa dua kotanya dijatuhi bom
atom. Amerika menjadi demikian maju karena pada awalnya dibentuk oleh
manusia-manusia perantauan yang ditempat asalnya kebanyakan mengalami
kesedihan. Negara-negara yang kerap dilanda kesedihan akibat bencana alam
seperti Taiwan, seperti menyimpan tenaga hidup yang tidak habis-habisnya.

Sehingga dalam totalitas sejarah seperti ini, layak direnungkan kembali
menghadirkan wajah kesedihan yang serba hitam, gelap dan buruk. Lebih dari
itu, keserakahan untuk hanya menerima kebahagiaan dan membuang kesedihan,
tidak saja membuat kebahagiaan berwajah hambar, juga membuat peradaban
manusia bergerak dari satu wilayah dangkal ke wilayah dangkal yang lain.

Disinari cahaya terang seperti inilah, maka penyelam-penyelam dalam di
samudera kehidupan tidak sedikit yang menyarankan manusia menyelami
serangkaian kedalaman kesedihan. Penyair menyentuh yang bernama Kahlil
Gibran, yang pernah menghasilkan karya master piece berupa Sang Nabi dengan
demikian apiknya menulis : "Tatkala kita bercengkerama dengan kebahagiaan di
ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur!" Psikiater kondang
James Scott pernah menyimpulkan kalau jiwa manusia justru jadi kuat setelah
melalui serangkaian kesedihan. Penulis jernih Jan Goldstein malah punya
pengalaman tangan pertama, kalau duka cita yang mendalam menghasilkan banyak
sekali kesucian. Setidaknya itu yang ia ceritakan dalam karya menyentuhnya
yang berjudul Sacred Wounds.

Maulana Jalaluddin Rumi lebih mengagumkan lagi. Tidak saja pesan-pesannya
yang menyentuh, tetapi pilihan bahasanya juga memperterang kejernihan. Dalam
salah satu karyanya, Rumi pernah mengandaikan manusia serupa dengan
sayur-sayuran. Di alam bebas, sayur-sayuran masih amat mentah. Salah-salah
bisa jadi sampah. Namun, melalui hawa-hawa panas dapurlah, sayur-sayuran
dibuat menjadi matang, kemudian melangkah meyakinkan menjadi satu dengan
kehidupan manusia. Bukankah manusia juga serupa? Awalnya hanya bahan mentah,
namun dapur kesedihanlah yang membuatnya menjadi lebih berguna dan bermakna.

Di salah satu pojokan karyanya, Rumi seperti tidak memberikan pilihan lain
terkecuali mengalami sendiri kesedihan. Terutama bagi manusia yang mau
bertumbuh di ladang-ladang rohani. Coba perhatikan salah satu saran Rumi
terhadap orang-orang yang ingin menjadi lelaki sejati : "Hanya melalui
kesedihan, melalui penderitaan yang disertai dengan kesabaran, manusia bisa
bertumbuh menjadi laki-laki sejati."

Dalam hamparan kejernihan seperti ini, Indonesia memang masih menyimpan
banyak kesedihan, umat manusia pasti masih akan menemui kesedihan, cuman
bukankah kesedihan juga yang membawa manusia ke serangkaian kekuatan
sekaligus kebahagiaan yang mendalam?

0 Comments:

Post a Comment

<< Home